Author: David Cornelis
Business Management Consultant with a penchant for Innovative Startups, Entrepreneurial SMEs, and Strategic Investment.
Jakarta masuk di peringkat pertama Asia Pasifik dan menduduki posisi ke-11 dunia sebagai tujuan investasi utama sektor properti. 3 tahun terakhir pasar properti cerah ceria menjadi primadona investasi. Saham properti di Bursa Efek Indonesia per Juni secara tahunan sudah mencatatkan rekor kenaikan tertinggi hingga 118%.
Saat ini ditengarai telah ada kecenderungan bubble pada beberapa tipe properti dengan luas di atas 70 m2 di beberapa kota besar. Dikhawatirkan kenaikan harga properti hanya bermotifkan untuk mendapat kredit lebih lanjut, sehingga kreditnya menggulung. Bayangkan, sebagian konsumen membeli rumah 2 atau lebih sekaligus dengan berutang.
Hal tersebut berbahaya bagi industri perbankan dan industri properti itu sendiri. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus cermat menanggapinya, karena kredit perbankan memang seharusnya tidak digunakan untuk spekulasi.
Secara total, 1 orang yang memiliki kredit pemilikan rumah/apartemen (KPR/KPA) lebih dari 1 mencapai 35 ribu orang, dengan nilai sekitar Rp 32 triliun. Debitor yang memiliki 2 KPR/KPA yang paling dominan, sebanyak 31 ribu orang (Rp 23 triliun), bahkan ada yang memiliki 9 hingga 15 KPR.
Pertumbuhan KPR sempat mengalami pelemahan pada kuartal ke-3 tahun lalu, saat aturan LTV (loan to value) mulai diterapkan, namun pada kuartal akhir 2012 dan kuartal awal 2013 kredit properti kembali melesat. Rumah tipe kecil mengalami kenaikan jauh lebih tinggi, sebesar 8,3% di awal tahun ini, dengan kenaikan terbesar berada di Surabaya, Jabodetabek-Banten dan Medan.
BI mencoba membatasi ruang gerak bagi kepemilikan properti yang kedua dan seterusnya, tetapi masih longgar bagi pembeli pertama. Langkah serupa yang lebih tegas telah dilakukan di sejumlah negara lain seperti di Singapura dan Cina.
Mulai 1 September 2013, BI akan memberlakukan aturan LTV baru yang menyempurnakan beleid sebelumnya yang berlaku sejak 15 Juni 2012, kali ini khusus untuk KPR dan KPA kedua dan seterusnya, mengenai pengetatan rasio pinjaman terhadap aset atau LTV progresif hingga 50%.
KPR untuk rumah kedua dengan tipe luas di atas 70 m2 dikenakan LTV 60% (uang muka yang dibayarkan minimal 40% dari harga rumah). Untuk KPR ketiga dan seterusnya, ditetapkan LTV maksimal sebesar 50%. Ketentuan ini juga berlaku untuk pemberian kredit non-KPR yang beragunan properti.
Bagi suami yang sudah memiliki KPR, apabila istri mengajukan KPR, maka yang berlaku langsung aturan kepemilikan yang kedua, kecuali keduanya memiliki perjanjian pemisahan harta.
Pengetatan aturan LTV ini bertujuan untuk menjaga kesehatan kredit properti perbankan. Adapun sekitar 2/3 dari rumah yang terjual saat ini dibeli dengan cara kredit. Pertumbuhan KPR di atas 70 m2 pada akhir tahun lalu mencapai 47% (ekspansi kredit di atas 25% harus diwaspadai).
Potensi perlambatan kredit untuk sementara waktu ke depan akan diikuti dengan peningkatan kualitas pinjaman, membuat bank lebih aman dan sehat, karena debitur memiliki kemampuan bayar yang lebih baik, sehingga menghindarkan bank dari risiko gagal bayar oleh para spekulan yang mengerek harga properti melampaui fundamentalnya yang dapat memicu bubble serta dapat menyebabkan kenaikan harga rumah tipe kecil yang mengakibatkan masyarakat berpenghasilan rendah mulai kesulitan mengambil KPR.
Bagi konsumen, dapat menerapkan strategi cicilan uang muka bertahap dan memperpanjang tenor pembayaran untuk pembelian tunai bertahap. Ajukanlah aplikasi kredit menjelang akhir tahun, biasanya akan lebih mudah, karena pada masa itu bank sedang mengejar target penyaluran kredit tahunan.
Business Management Consultant with a penchant for Innovative Startups, Entrepreneurial SMEs, and Strategic Investment.
Subscribe to my newsletter! Get FREE RESOURCES to grow and expand your business