Author: David Cornelis
Business Management Consultant with a penchant for Innovative Startups, Entrepreneurial SMEs, and Strategic Investment.
Mulai bulan September 2013 ini, Bank Indonesia (BI) berencana memberlakukan aturan baru khusus untuk KPR/KPA kedua dan seterusnya, yaitu pengetatan rasio pinjaman terhadap aset atau LTV (loan to value) progresif. BI mewajibkan untuk rumah kedua dengan tipe luas di atas 70 m2 dikenakan LTV 60% (uang muka minimal 40%), untuk yang ketiga dan seterusnya ditetapkan maksimal LTV sebesar 50%.
Penjualan rumah komersial saat ini didominasi oleh rumah menengah bawah seharga Rp 200—600 juta, dan sekitar 60% dari total penjualan umumnya mengandalkan KPR. Adapun dari riset total penjualan properti pada tahun 2009—2012, sebesar 45% didominasi oleh spekulasi. Suatu hal yang lumrah bilamana investor membeli properti memanfaatkan hutang dengan tujuan untuk dijual kembali dalam waktu singkat.
BI ingin lebih melindungi perbankan agar terhindar dari ulah spekulan. Walaupun kenyataannya spekulan relatif tidak banyak melakukan pembelian melalui KPR, karena yang dicari adalah keuntungan dari kenaikan harga melalui diskon yang hanya didapat melalui pembelian tunai atau tunai bertahap.
Aturan LTV lama sepertinya belum mampu membendung apresiasi harga rumah. BI bulan ini mempertajam peraturan LTV guna mencegah terjadinya penggelembungan aset di KPR/KPA.
Bagi bank yang fokus pada kredit rumah pertama seperti BNI dan BRI, kebijakan LTV relatif tak berdampak signifikan. Di BCA, yang memiliki lebih dari 1 KPR hanya 10% dari total nasabah KPR. Di Bank Mandiri hanya 2%. Di BTN malah tidak lebih dari 1%, dan sebanyak 96% nasabah KPR adalah pembeli rumah pertama dengan tipe di bawah 70 m2.
Adapun rasio KPR terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia jauh lebih kecil, hanya kurang dari 3%, dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia 27%, Singapura 45% maupun Amerika Serikat yang mencapai 88%.
Rasio kredit bermasalah di Indonesia juga hanya sebesar 2,4% yang jauh lebih rendah dibandingkan krisis 1998 yang mencapai 21%. Rasio kredit properti terhadap kredit nasional pun masih relatif rendah yakni sekitar 13%, dibandingkan tahun 1997 rasionya mencapai 17%.
Kebijakan LTV dinilai sedikit terlambat karena saat ini properti telah memasuki fase perlambatan kenaikan harga, dan negatifnya adalah memberatkan kelompok masyarakat kalangan rumah tangga baru, serta yang paling terkena dampaknya adalah konsumen menengah. Positifnya, aturan ini akan melindungi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) agar dapat memiliki rumah.
Pengetatan LTV akan mendorong spekulan bermain ke pasar properti kelas menengah, dengan kisaran harga Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Kendala bagi pengembang adalah kesulitan menentukan besaran uang muka yang harus disiapkan oleh calon pembeli.
Sebenarnya yang lebih berdampak pada sektor properti bukanlah kebijakan LTV, melainkan kenaikan suku bunga perbankan, yang saat ini BI Rate sudah mencapai 7% per akhir Agustus dan juga pelemahan rupiah yang cukup tajam sekitar Rp 12.000. Calon pembeli properti tentunya perlu berkalkulasi lagi untuk bertransaksi saat ini.
Saran bagi BI, patokan penetapan kebijakan LTV 70% atas dasar luasan unit tersebut masih kurang tepat, lebih baik berdasarkan komponen harga nominal rumah, dengan membaginya berdasarkan wilayah, serta ditentukan juga batasan harga dan luas tanahnya.
Dan usul bagi pemerintah, bahwa untuk meredam kenaikan harga properti tidak akan berhasil dalam jangka panjang jika problema kekurangan pasokan rumah (backlog) tidak segera diatasi, khususnya bagi MBR.
Diharapkan pemerintah dan BI sebagai wasit antara pembiaya, pengembang dan pembeli, harus cermat dalam menghasilkan aturan kredit tepat yang tetap propasar.
Business Management Consultant with a penchant for Innovative Startups, Entrepreneurial SMEs, and Strategic Investment.
Subscribe to my newsletter! Get FREE RESOURCES to grow and expand your business