Author: David Cornelis
Business Management Consultant with a penchant for Innovative Startups, Entrepreneurial SMEs, and Strategic Investment.
Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 103 tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia sebagai pengganti PP No. 41 tahun 1996 tentang Hak Pakai Properti bagi Warga Negara Asing (WNA). Beleid yang dirilis pada 22 Desember dan berlaku sejak 28 Desember tahun lalu ini bernada positif bagi industri secara umum di tanah air dan diharapkan dapat menggenjot perkembangan industri properti, khususnya pasar hunian vertikal.
PP tersebut lahir dalam rangka mendukung pembangunan yang semakin berkembang seiring eratnya kerjasama investasi di Indonesia dengan negara-negara sahabat, dan karena naiknya kuantitas WNA yang berbisnis di Indonesia menjadi pendorong permintaan kebutuhan hunian bagi WNA yang kian melonjak. Adanya aturan ini, di sisi lain, melecut naiknya harga properti sehingga masyarakat kelas menengah-bawah pun merasa terpepet karena harga rumah yang kian mahal, karena belum diatur mengenai limitasi zonasi dan harga, yang mana batas minimalnya perlu diatur agar hak WNA tak berbentur dengan hak masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Batas harga minimal properti untuk hunian vertikal untuk mencegah pembelian properti di kelas menengah ke bawah.
Kebijakan mengenai kepemilikan properti bagi WNA ini sebagai langkah lebih lanjut untuk menarik investasi asing sehingga pasar properti nasional lebih bergairah di era pasar global di tengah Masyarakat Ekonomi Asean, yang pada tujuannya terjadi investasi riil yang dapat menggerakkan roda perekonomian. Jika harga unit mewah yang boleh dimiliki WNA minimal Rp 5 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi (kategori properti yang terkena PPnBM dengan tarif 10% dan bersifat progresif) bila terjual sekitar 10 ribu unit, maka ada pendapatan sekitar Rp 50 triliun. Selain bisnis properti yang bergairah kembali, tambahan pemasukan negara dari pajak akan membumbung lebih dari angka Rp 20 triliun, ekonomi publik juga akan menggeliat karena perputaran uang yang lebih deras.
WNA diberi kepastian hukum dengan hak pakai rentang 3 dekade dan dapat diperpanjang seperlima abad serta enam lustrum. Sebelumnya, hak pakai WNA dibatasi lebih singkat, sama seperti Hak Guna Bangunan (HGB) untuk warga Indonesia, yaitu hanya selama 5 dasawarsa. Dari sisi jangka waktu, aturan ini sudah lebih baik dari sebelumnya, juga sudah ada kejelasan mengenai izin tinggal dan ahli waris.
Pemerintah harus memperbaiki sistem perumahan nasional yang ada saat ini, termasuk dalam penyediaan perumahan masyarakat. Perlu zonasi yang diperuntukkan untuk program sejuta rumah yang dapat dirinci dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah per lokasinya. Dengan adanya zonasi, maka tidak perlu ada kerisauan defisit rumah untuk masyarakat kecil, karena WNA hanya diizinkan membeli hunian kelas premium. Pemerintah juga harus menyiapkan bank tanah untuk mengendalikan harga, serta harus dapat menjamin harga tanah tidak akan naik secara liar dan acak.
Diharapkan regulasi pembiayaan properti bagi WNA bisa menstimulasi membuka ceruk baru dan pangsa pasar ekspansi kredit di sektor perbankan. Perbankan juga dapat menggunakan hak pakai sebagai agunan setara HGB. Akan lebih menarik lagi apabila syarat memiliki properti bagi WNA, selama legal, tidak harus yang bekerja di Indonesia, sehingga pasarnya menjadi lebih luas. Tidak terasa terlalu perlu juga aturan apabila WNA tidak lagi di Indonesia dalam 1 tahun wajib mengalihkan haknya. Yang perlu dipertimbangkan pula adalah tempo kepemilikan yang dapat diperpanjang di muka sekaligus sehingga ada kepastian di awal. Satu yang lebih utama adalah penyederhanaan birokrasi dan rantai proses pengurusan dan perizinan.
Business Management Consultant with a penchant for Innovative Startups, Entrepreneurial SMEs, and Strategic Investment.
Subscribe to my newsletter! Get FREE RESOURCES to grow and expand your business